Goal
Semalam aku diminta untuk mengutarakan goal pada seseorang yang baru saya kenal,
Jika goal yang dimaksud adalah pencapaian keinginan untuk meraih sesuatu yang lebih tinggi, saya kerepotan memikirkannya.
Kalau definisi goal itu adalah keinginan yang diberi jangka waktu, saya juga bingung untuk membagikannyakannya.
Dalam berjubelnya keinginan dan kekotoran bathin, ada suara keinginan yang lirih terdengar namun 'Menganggu', mirip seperti kegelisahan yang ingin dihilangkan.
suara dalam itu berbunyi 'Ingin tidak menjadi siapa-siapa dan bukan apa-apa.'
Memang terasa terlalu dini dan terlalu berani melontarkan keinginan ini, melihat masih terlalu banyak ego terangkai kuat, ditambah begitu banyak kem'Alasan' dan pembenaran yang tercipta.
Apalagi program beserta pengalaman masa lalu masih sering melintas bagai bioskop yang mengulang film dengan judul 'Impian sejuta dolar.'
Tidak menjadi apa-apa bukan artinya tidak 'Punya' jabatan, dan bukan menjadi siapa-siapa artinya bukan tidak 'Memiliki' rumah dan mobil, namun tidak ada 'Aku', 'Milikku', 'Punyaku' dan 'Ku-ku' lain yang melekat.
Menari dengan tarianku, menjadi manusia bebas, dalam kata lain berserah total, tidak terikat pada benda ataupun keluarga.
Hidup sadar sepenuhnya tanpa tergangu oleh pandangan dan perkataan orang.
Seseorang bertanya bagaimana saya punya pemikiran yang berbeda seperti itu?
Di kesempatan ini saya juga ingin menjawab beberapa pertanyaan yang hadir di inbox saya tentang hal yang kurang lebihnya sama; bagaimana saya menyikapi kehidupan yang sering menyapa dengan cara yang tidak kita harapkan?
Jangankan levelnya masih merangkak dan terseok-seok seperti saya ini, mereka yang sudah terbang seperti Buddha dan Jesus sekalipun, hidupnya penuh dihinggapi ketidaknyamanan.
Mereka yang disebut kekasih Allah sekalipun, hidupnya didera banyak tantangan, jadi adalah salah besar kalau masih pakai badan manusia dan berharap segala sesuatu berjalan mulus sesuai dengan harapan.
Dikisahkan ada kemarahan yang terluap dari Jesus, begitupula kesedihan dalam Buddha yang telah tercerahkan, dan saya yakin emosi-emosi tersebut hadir pada Rama, dan Nabi Muhammad.
Bedanya mereka sadar seutuhnya sementara kita jauh dari sadar, kita menolak dan mereka menerima dengan ikhlas.
Hidup terlalu baik pada saya, sejak kecil alam menuntun diri ini bukan saja bertemu dengan Guru-Guru fisik namun juga Guru-Guru yang berbentuk rasa sakit, kebangkrutan, kekecewaan, kesedihan dan sejenisnya.
Sudah tidak terhitung tendangan dan pukulan yang saya hujamkan untuk menolak kehadiran mereka, namun semakin di tolak semakin mereka mendekat.
Tadinya saya berpikir dengan meraih semua impian, maka semua rasa sakit akan terbakar musnah, namun lagi-lagi saya salah arah.
Semakin impian terpenuhi, ego bersanding manis disebelahnya, saya merasa semakin tinggi karena merasa sudah menjadi 'Orang', lalu hadirlah keinginan lainnya, lebih tepatnya tuntutan untuk diterima, dihormati, dihargai, di puja-puja.
Pada fase ini bukannya kedamaian, melainkan kekecewaan yang datang bersama teman-temanya yang bernama kemarahan dan kesedihan.
Saat ini saya telah belajar, hidup menjadi bersahabat ketika kemarahan dan kesedihan dipeluk, pelukan yang sama seperti dikala kesenangan dan keceriaan berkunjung.
Ketika menarik nafas, dengan sadar aku berkata dalam hati 'Aku menarik nafas bersama kesedihan' dan ketika menghembuskan nafas, dengan penuh sadar hatiku berucap 'Aku melepaskan nafas bersama kesedihan' begitulah cara memeluknya.
Selamat berpelukan dengan rasa apapun di dalam