"Aduhhh, tuh lihat jatuh semua nasinya" atau "Huuuuh rumah diberantakin semua" atau "Baju kamu tuh kotor semua"

 sering dengar kalimat diatas atau bahkan sering mengatakan kalimat itu?


Sangat wajar bila kita tidak mengakui, bukankah sering kita melihat orang yang kita nilai sebagai pemarah yang menolak kalau di sebut suka marah.


Ketika seseorang marah atau kesal, ia tidak menyadari dirinya. Dirinya telah dibajak oleh kemarahan tersebut, sehingga ketika kembali sadar ada kemungkinan ia tidak mengingatnya.



Kembali perhatikan ketiga kalimat paling atas, sepengetahuan saya bahwa sangat jarang terjadi nasi yang jatuh semua, rumah yang berantakan semua dan baju yang kotor semua.


Mungkin ada beberapa bercak di baju karena anak bermain pasir dan kalau di lihat dengan ukuran pasti mungkin jumlahnya kurang dari 10 %, nasi yang di sendok tersenggol mungkin terurai setenganya tapi itu bukan seluruh nasi yang ada, begitu juga rumah yang beberapa permainan tersebar dibeberapa tempat hanya beberapa persen dibandingkan dengan keseluruhan prabot yang ada dirumah.



Kata-kata megeneralisasi ini seperti kanker yang cepat sekali menyebar dalam aspek-aspek kehidupan yang lain.
Lihatlah bagaimana begitu banyak orang yang mengucapkan "saya marah", "saya benci dia", "saya frustasi" dan seterusnya.


Apakah benar bahwa seluruh tubuh dan pikirannya adalah marah, kenyataannya itu tidak pernah terjadi dalam manusia manapun.


Lebih masuk akal bila seseorang berkata "saya merasa marah" lebih tepat lagi "ada bagian diri saya yang marah".



Didalam diri seseorang yang benci terhadap orang lain pasti akan ditemukan bagian lain dari dirinya yang mencintai orang tersebut, namun bagian Cinta itu tertutup oleh kerasnya benteng kemarahan.



Tidak terbajak oleh emosi adalah salah satu kemampuan paling penting yang harus dilatih oleh setiap orang namun pastikan juga untuk menggandeng kemampuan melihat dan mengurai masalah.



Seperti anak SD yang pulang sekolah sehabis menjalani ujian dan mengatakan bahwa "sekolah itu sulit" pada Ibunya, 
Ibunya yang sabar mendengarkan dengan tenang apa yang dikatakan anaknya, sambil memahami Ibunya pelahan-lahan mengurai "Sulit" itu dengan bertanya.


"Apakah semua kegiatan kamu di sekolah sulit nak?"


"Nggak sih Bu, kalau olaraga enak tapi kalau pelajaran sulit"


"Ohh, semua pelajaran?, bahasa Indonesia dan sejarah juga sulit?"


"Tidak, matematika itu Bu yang sulit."


"Yang mana, apakah hitung-hitungan atau mengukur ruang?"

"Bukan, kalau itu sih gampang, persamaan ini lho bu yang Adek ngga bisa"



Inilah kehidupan ini, ketika seseorang sakit gigi, ia memilih untuk mengatakan bahwa seluruh bagian dirinya sedang sakit, dengan kata lain ia enggan memfokuskan pada sebagian besar bagian dirinya yang sehat.



Apakah hidup itu susah?, apakah mengasuh anak itu sulit?
tidak ada jawaban benar dan salah, semua tergantung dari kemampuan, cara pandang dan ..... Kesadaran