Pagi ini sewaktu mengajak Rigpa berjalan-jalan diantara sawah sambil menyapa matahari, sepasang suami istri membawa tak kresek beserta anaknya usia 3 tahun menggenggam snak kemasan masuk menuju pekarangan rumah. 


Setelah menyapa "Hallo" mereka meneruskan masuk.


Tak lama kemudian saya mengikutinya, terlihat mereka sedang mencari dan memetik sesuatu di rerumputan halaman rumah.

"Cari apa Bu?"

"Ini buat obat" sambil ia menunjukan sebuah daun kecil yang di Bali disebut daun Pideuh.
"Ini direbus sama daun sirih merah dan kunir untuk pengobatan tumor kata dukunnya"
, tentu saya senang bahwa apa yang dihalaman saya bisa dimanfaatkan untuk penyembuhan.

"Siapa yang sakit?"
 Bapak itu menunjuk dada istrinya,
"Tumor payudara",
"Dulu dibawa ke dokter tapi malah membesar, sekarang setelah minum ramuan ini, terus mengecil".


"Oh syukurlah" kata saya,
Lalu saya menambahkan, "Selain pengobatan yang harus dijaga makannnya Pak, tolong berhenti dulu konsumsi daging dan susunya".

Lalu saya menerangkan sedikit hal lainnya, namun saya melihat bahasa tubuhnya tidak percaya pada apa yang saya katakan.


Sama sekali tidak tersinggung apalagi sakit hati, saya menyadari bahwa apa yang saya katakan belum pernah mereka dengar.

Guru di sekolah, dokter di RS, bahkan dukunnya sekalipun tidak pernah melarangnya, disamping itu saya juga sadar bahwa tugas saya hanya berbagi dengan niat yang tulus, diterima atau tidak, sama-sama rasanya.



Beberapa detik kemudian saya menoleh pada anaknya, sekarang tangannya sudah kosong, bungkus snak dengan penyedap, penguat, perasa, pewarna, pengawet, dan mungkin pelembut dan pewangi itu tergeletak di tanah.


"Hi Dik ayo kita letakkan bungkusnya di tempat sampah"
lalu dengan segera Bapaknya mengambil plastik tersebut dan menggengamnya dengan erat.


Bapak itu meggelengkan kepala ketika saya meminta bungkusan itu untuk saya buang.



"Pak, makanan seperti ini bahaya untuk kesehatan, kalau bisa dihindari"

"Susah Pak" dia menjawab,
"Kalau ngga dikasih, marah" 

 Saya menarik nafas dalam, dan menyadari ada kegelisahan dan kesedihan dalam bagian diri saya, dan tentu emosi ini membawa saya pada emosi yang serupa yang pernah saya alami.



Bayangan saya mundur ke beberapa titik di belakang ketika saya bertemu dengan seorang teman yang mempunyai pabrik snak untuk anak namun ia sama sekali tidak memperbolehkan anaknya memakan snak yang diproduksinya.


Sewaktu memberikan pelatihan di top level manajemen sebuah pabrik rokok saya pun terkejut karena dari 50 orang peserta hanya 2 orang yang merokok.


Begitu juga cerita tentang sesorang yang ditanya "Apakah Anda Vegetarian?" jawaban orang yang sedang memesan menu nabati itu: "Bukan, saya adalah peneliti daging di laboratorium",
"Bahkan saya tidak mau memberikan daging pada kucing saya" lanjutnya.



Kartika pernah berkeliling ke sekolah-sekolah untuk berbagi, ketika ia bertanya pada anak-anak, "Jadi sampah plastik ini setelah dikumpulkan, apa yang harus dilakukan?", dan serentak anak-anak itu menjawab lantang, "Dibakaaaaar..."



Memang tidak gampang meninggalkan pola yang lama, memang susah untuk merubah kebiasaan yang lama telah tertanam. 


Kita semua sepertinya sudah terkena Neurosis, kita tidak mau menghadapi kesakitan perubahan padahal otak logika kita tahu kalau kita mau berubah maka kita akan menjadi lebih baik.


Kita hanya mau pain killer dan tidak mau mengalami sakit operasi.


Dan pil pahit itupun baru mau kita telan ketika udara dunia sudah terhirup lebih pahit dari pil itu, dengan kata lain si Ibu mau berjalan setiap hari mencari daun dan meminum ramuan pahit itu karena hadirnya derita tumor yang lebih pahit.



Si Ibu dan keluarganya telah lama meninggalkan halaman rumah ini, begitupula kegelisahan dan kesedihan telah surut namun masih meninggalkan genangan renungan:
"Pendidikan apa yang saya baiknya lakukan untuk anakku?"
"Apakah perlu anakku menghabiskan waktu untuk belajar menghitung dengan cepat, berbicara dengan berbagai bahasa, menghapal ribuan hal yang dipercaya oleh masyarakat dunia ini akan membawa seseorang pada puncak kesuksesan?".



Sambil melihat Rigpa yang terlelap dalam tidur siangnya, teringat saya oleh kalimat yang diucapkan oleh His Holliness Dalai Lama:


"The planet does not need more successful people. The planet desperately needs more peacemakers, healers, restorers, storytellers and lovers of all kinds."
Planet ini tidak memerlukan lebih banyak orang sukses
Planet ini sangat membutuhkan lebih banyak pembawa kedamaian, para penyembuh, pemulih keadaan, penutur cerita dan pencinta segalanya.
- Dalai Lama -