Layang-layang kecil seharga Rp.2000,- itu koyak.
Hal yang paling mudah mengusir kesedihan anak adalah mengatakan, "Tidak apa-apa, nanti papa beliin lagi ya, yang lebih bagus"

Namun jalan instan agar anak ceria lagi tidaklah kami pilih, saya bertanya "Apa yang ‪rigpa‬ rasakan ?" Ia pun terdiam dan hanya memandangi sisi robek di layang itu.

"Rigpa sedih?", ia mengangguk.
"Pertama diterima sedihnya dahulu, terus Rigpa perlu tahu bahwa apapun yang digunakan bisa rusak apalagi kita kurang hati-hati, namun apapun yang rusak kita bisa coba perbaiki"

Saya melakukannya karena terinspirasi oleh sebuah gambar yang beredar di internet yang juga selalu menjadi salah satu slide di pelatihan ‪#‎compassionateParenting‬ yang saya bagikan.

Gambar sepasang suami istri yang sangat tua namun terlihat masih mesra dan tertulis.

Seorang reporter bertanya "Bagaimana Kalian bisa bertahan selama 65 tahun hidup bersama?"

Dan wanita itu menjawab "Kami lahir di masa dimana bila ada sesuatu yang rusak dan Kami perbaiki, sekarang kita membuangnya"

Sebagai ortu, sering kita tidak sadar bahwa dengan mengganti setiap barang yang rusak dengan yang baru akan membentuk sebuah metafora atau program yang di yakini anak.

Dan tidak tertutup kemungkinan program ini akan berlaku pada sisi relasi pada kehidupannya.

Setelah ia besar ketika hubungan dengan pasanganya tidak baik dan ia menganggapnya rusak maka mungkin sekali ia pun mencari yang baru.

Di dunia ini selalu ada pilihan antara jalan yang berliku dan jalan potong, apapun yang kita pilih selalu ada konsekwensi yang mengikutinya.

Anak-anak selalu menjadi Guru terbaik bagi kita, agar sebagai orangtua kita ingat pada jalan bijak mana yang perlu diambil.