David n Goliath
Sewaktu saya baru membaca beberapa lembar buku David and Goliath karangan seorang penulis favorite saya Malcom Gladwell saya terkaget-kaget.
Tidak ada yang kontroversial di cerita itu, David tetap membawa batu kecilnya dan Goliath dengan pedang besarnya, juga Goliath yang menyerah ditangan David.
Malcom hanya membeberkan kisah perang legendaris tersebut lebih detil dibanding Guru-Guru saya di sekolah dahulu, sehingga memunculkan fakta-fakta baru yang membimbing saya pada pemahaman yang baru pula.
Dari pemahaman ini saya melihat cerita ini dari sudut yang berbeda dan tentu menghasilkan emosi yang berbeda pula dalam diri saya.
Keterkejutan saya bukan pada apa yang tercetak di buku tapi lebih pada apa yang terjadi di dalam benak saya.
Sewaktu kecil saya dan juga semua anak tentunya mendapat intervensi dari lingkungannya, salah satunya adalah cerita tentang kehidupan yang dilihat dari berbagai aspek.
Karena masih anak dimana faktor kritis belum terbentuk maka data berupa cerita itu ditelan mentah-mentah dan biasanya diujung cerita ada proses pemaknaan yang biasanya hadir dari yang memberi cerita, lalu makna itu menghasilkan program dan tidak aneh bila program ini berjalan hinga kita dewasa.
Contoh: Seorang bapak yang menceritakan kisah kesedihannya setelah ditipu oleh seseorang dari suku tertentu, dan kemudian Ia mengkaitkan dengan kisah lamanya yang juga pernah ditipu beberapa kali oleh orang dari suku yang sama, di akhir cerita ia memberikan kesimpulan agar anaknya tidak sekali-kali berhubungan bisnis dengan orang dari suku tersebut.
Dan mungkin saja dalam otaknya, sang Anak menghubungkan agama dari orang -orang yang menipu bapaknya dan kebetulan sama.
Singkat cerita, dalam diri anak ada program yang menimbulkan kemarahan dan kebencian pada suku dan agama tertentu.
Program ini semakin tegar sejalan dengan berita yang ia baca koran atau dengar melalui koran atau media lainnya.
Disamping itu, emosi yang dipancarkan ini bervibrasi dan ditangkap oleh suku dan agama tersebut yang besar kemungkinannya ia akan mengalami hal yang sama seperti Bapaknya.
Kita bukan lagi menjadi manusia yang bertindak dengan kesadaran penuh, kita telah menjadi robot yang bereaksi terhadap program-program yang tertanam.
Perhatikan kata "Bereaksi"
Re-aksi = mengulang kembali aksi sebelumnya.
Kita seolah tidak punya waktu untuk duduk sebentar dan menelaah program-program didalam diri ini, kita lebih senang membiarkan bara kemarahan , pedih kesedihan, dan akut ketakutan melekat dan menetap berpuluh tahun dalam diri ini.
Pernahkah kita mencari jawaban dengan sunguh-sungguh "Mengapa kemarahan sering muncul?",
"Darimana awal kebiasaan menyalahkan pihak lain?"
"Program apa yang ada sehingga saya membenci mereka?"
Saya selalu percaya bahwa tidak ada yang salah dengan dunia ini, ketika kedamaian menghilang dari diri, maka selayaknya kita menyadari bahwa ada program yang tidak beres yang ada di dalam raga ini.
Jangan juga menyalahkan diri sendiri karena kemarahan yang meletup, karena saya dan Anda semua bukanlah program, program itu hanyalah melekat dan dengan kesadaran kita bisa melepaskannya.