CompassionateParenting‬ ‪#‎part4‬ ‪#‎LanjutanTulisanSebelumnya‬

Isu paling gemerlap dalam parenting adalah apa yang ada di status sebelumnya, yaitu soal makan anak, dan yang kedua adalah nilai pelajaran.

Walau sebagian besar orangtua mengetahui bahwa nilai disekolah tidak serta merta menunjukan kesuksesan anak dimasa kelak, namun tetap saja masih banyak orangtua yang menginginkan bahkan memaksa anaknya agar juara.

"Untuk kepentingan siapa?", sebagian besar orangtua dalam seminar-seminar mengakui bahwa keinginan anaknya menjadi no 1, adalah untuk kebanggaan dirinya sebagai orangtua.

Sebagian kecil bertanya "Kalau juara kan lebih gampang dapat pekerjaan?", 'Betul' jawab saya,

"Tapi sewaktu melamar pekerjaan apakah ijasah SD dan SMP dilampirkan?"

Tujuan belajar bukanlah untuk mendapat nilai lalu berimbas pada rangking, bukan pula menghafal melainkan mengasah otak untuk berpikir lebih utuh.

Einstein pernah ditanya oleh seseorang, ada berapa kaki (sekitar30 cm) dalam suatu mil.
Einstein menjawab, "Saya tidak tahu. Mengapa saya harus mengisi otak saya dengan fakta yang dapat saya temukan dalam waktu dua menit di dalam buku acuan yang standar".

Kata Einstein bahwa otak lebih baik digunakan untuk berpikir dan menemukan sesuatu daripada menghafal.

Hal penting yang kita perlu sadari adalah bahwa nilai, bukan menentukan seseorang pintar atau bodoh, nilai hanya menunjukan bahwa anak tersebut sudah mengerti atau belum, dan inipun tidak mutlak benar.

Misalkan ada anak yang mengerti atau hafal betul soal yang akan dikerjakan namun pada saat ujian fisiknya lagi sakit atau hatinya sedang galau, tentu hasilnya akan jauh berbeda bukan.

Memuji anak dengan satu variabel yaitu nilai sangat tidak disarankan, karena bila didalam otak anak 'Tersambung' kuat antara kata pintar dan nilai yang didapat maka bila sebaliknya terjadi, nilainya jeblok maka ia akan mengatakan pada dirinya bahwa dirinya adalah anak bodoh.

Dalam compassionate parenting kita perlu mengembangkan welas asih dan empati bagi sesama dan mengurangi keegoan diri, sambil selalu mengingat bahwa tujuan manusia adalah bekerjasama dan sama sekali bukan untuk bersaing.

Mengatakan 'Hebat' apalagi 'Kamu paling pintar di kelas', 'Kamu harus bangga akan prestasi kamu' sambil kita sendiri ikut bangga bahwa tidak ada lain yang menyamai kehebatan anak mungkin terlihat normal, saya juga berpikir hal ini adalah normal, bahkan dikelas parenting sebelumnya saya pun mengajarkan hal yang sama.

Setelah konflik di dalam hati yang cukup lama, akhirnya saya memberanikan diri untuk memilih kesadaran yang menemani saya saat ini yang mungkin tidak populer.

Kesadaran itu mengatakan "Apa yang bisa dibanggakan bila semua yang saya, istri dan anak saya dapatkan adalah karunia?" dan "Bagaimana saya bisa bangga diantara mereka yang sedang bersedih?. Bukankah yang menciptakan saya dan dia adalah tangan yang sama"

Rigpa saat ini belum sekolah dan belum terpikir oleh kami untuk menyekolahkannya.

Kalaupun ia mau sekolah, kami akan mencari yang menerapkan sistem tanpa rangking dan kalau bisa tanpa nilai.

Dan kalaupun akhirnya ia bersekolah di sekolah yang menggunakan sistem nilai dan mendapat nilai 10, kira-kira beginilah yang akan kami sampaikan.

Nilai yang kamu dapatkan adalah konsekwensi dari belajarmu, semakin sering kau belajar, semakin kau memahami pelajaranmu dan kemungkinan juga semakin besar kau bisa menjawab soal tes tersebut.

Disamping karunia dan kegigihanmu belajar, tentu ada banyak faktor yang membuatmu mendapat nilai ini, untuk itu perlu sekali kita mengingat hal selanjutnya yang sama pentingnya, yaitu membantu teman yang lain memahami pelajaran ini sebagai wujud terimakasih atas karunia yang telah didapat.