‪#‎Compassionateparenting‬ ‪#‎part3‬ ‪#‎Lanjutantulisansebelumnya‬

"Trus kalau tidak dipuji bagaimana memotivasinya Pak" adalah pertanyaan rangking wahid ketika saya berbicara atau berbagi tentang 'Narkoba-narkoba' yang berupa penghargaan, pengakuan , persetujuan dan sejenisnya.

'Kalau kita punyanya palu saja, maka semua hal dianggap paku.' Itu kata-kata Guru saya yang selalu saya ingat.

Kita memang sudah terjebak pada dikotomi stick and carrot, ancaman dan pujian, punishment and reward dan seterusnya.

Kita bahkan tidak melihat adanya pilihan lain selain kedua kutub tersebut.

Kalau kita mau menengok ke dalam dan melihat lebih jujur, bahwa dibalik pujian yang kita serukan, seringkali menumpuk agenda tersembunyi.

"Wah hebat Adek makanya banyak, cepet besar deh trus jadi dokter"

Kita semua tahu bahwa makan yang banyak bukanlah suatu yang hebat, bahkan untuk kesehatan juga tidak baik, makan yang pas adalah secukupnya, bahkan kalau bisa berhenti sebelum kenyang.

Bila anak tersebut menjadi remaja dan mempunyai tubuh yang berbobot lebih, maka tentu pujian itu bukan hanya tidak berlaku lagi melainkan sang orangtua akan berkata "Makan terus, ingat badan, mau jadi apa kerjaanya cuma makan aja?"

Dalam hal makan, orangtua sering melakukan pujian dengan dasar ketakutan (fear based), takut sakit, kurang gisi atau lainnya, bila pujian tidak mempan, biasanya bandul bergerak kearah berlawanan, kita menggunakan jurus menakut-nakuti anak, memberi ancaman atau membuat anak merasa bersalah dengan berkata 'Nasinya akan nangis' , 'Ayamnya mati', di penjuru dunia lain banyak yang ngga bisa makan' dll, dll.

Tidak ada bumbu yang lebih lezat dari rasa lapar.

Ketika lapar berkunjung apapun termasuk sayur yang tidak disukai anak akan terasa enak.

Kita memaksa anak makan karena kita tidak nyaman dengan rasa lapar yang ada di dalam diri kita, dan kita tidak ingin hal tersebut terjadi pada anak Kita, makanya kita kemudian memaksanya.

Anak atau kita yang sudah dewasa sekalipun tidak nyaman ketika dipaksa makan, pengalaman makan anak menjadi tidak enak sehingga selanjutnya ia pun menolak untuk makan karena ada luka traumatis.

Para ahlipun mengatakan bahwa 90 % rasa lapar adalah terhubung faktor psikologi bukan fisiologi.

Bukannya kita mulai belajar mengembangkan kesadaran untuk mendengarkan tubuh sekaligus berlatih menahan keinginan melainkan sebaliknya kita berlomba mewujudkan apapun hasrat yang muncul.

Pada titik tertentu, dimana kecemasan mulai meninggi, biasanya orangtua mulai membelikan makanan yang lezat tanpa mempertimbangkan gisi atau benda seperti mainan agar anak makan.

Dan kita tahu bahwa semuanya dimaksudkan agar kenyamanan hati orangtua tetap terjaga.

Hal kebalikan terjadi pada kami, kami kerepotan untuk menyetop keinginan Rigpa untuk makan.

Namun Ketika tubuhnya tidak nyaman, ia tidak mau makan, kami pun menghargai tubuh yang ingin berpuasa itu.

Daripada memuji anak berdasar ketakutan mari kita mencintainya dengan cara mencari pengetahuan tentang tubuh, pikiran serta makanan.