Part 2 Lanjutan status sebelumnya ‪#‎compassionateparenting‬
Selain berteriak "Ngga hebat", "Ngga pintar", "Ngga ganteng" dan sekutunya, Rigpa juga tidak jarang berteriak ketika seseorang ingin memegang kepala atau pipinya, bahkan ketika seseorang yang tidak ia kenal menyapa "Hi" padanya.

Namun mungkin ia adalah anak yang paling rajin memberi salam anjali atau namaste _/|_ pada bhante, suhu, bikkhu yang ia temui sepanjang 5 hari retreat meditasi yang kami ikuti kemarin.

 Dalam sebuah perbincangan ia mengatakan "Kalau bhante boleh pegang, kalau bukan tidak boleh", itulah kebijaksanaan yang muncul darinya, kami sebagai orangtua wajib menghormatinya tanpa perlu menambahkan bahwa itu baik atau buruk.

Memang beberapa kali kami mendengar orang dewasa terutama sang orangtua mengatakan pada anaknya yang tidak mau menyapa ketika disapa "Kok sombong, disapa kok kaya gitu jawabnya?", tentu kami juga menghormati kebijaksanaan orangtua tersebut dalam menyikapi situasi yang terjadi.

"Mengapa tidak diajarin?" tanya seseorang sahabat kami pernah berulang kali mengatakan bahwa bila ada yang menyapa, kita boleh menyapa pula, namun semua nasehat itu tidak sepenting tindakan yang kita lakukan.

Saya tidak tahu apa yang ada di dalam hati dan benak Rigpa, mungkin ia trauma karena sangking seringnya orang mencolek pipinya dan menyapa bahkan ketika ia sedang ngantuk atau tidur sehingga ia merasa terganggu.

Atau ia melihat bahwa mengapa hanya ia saja yang di pegang sementara orang dewasa kok tidak.

Kami percaya bahwa anak-anak lahir dengan kemurnian yang jauh lebih tinggi daripada kita orang dewasa.

Kita sering memunculkan topeng yang tersenyum didepan orang walau hati sedang runyam.

Tidak perlu penelitian, sudah jelas anak lebih bahagia dari orang dewasa, ini karena salah satunya anak tampil apa adanya, mengekpesikan sedih dikala sedih dan juga sebaliknya disaat senang.

Meminta anak tidak boleh sedih, tidak boleh marah dan harus selalu tersenyum sama seperti mematikan sense emosi yang merupakan karunia besar dari Pencipta pada kita sebagai manusia.

Dan lagi-lagi, ujung-ujungnya mengapa kita meminta anak untuk selalu tersenyum?

Untuk kepentingan siapa kita ingin ia selalu gembira?

Dalam hati kita semua tahu jawabannya bukan?.