Prof. Komaruddin Hidayat pernah berujar "Bila AL Quran di padatkan maka itu adalah AL Fatihah dan bila harus dipadatkan lagi maka yang hadir adalah Bismillah ir-Rahman ir-Rahim, dan jika harus di padatkan lagi menjadi satu maka itu adalah Ar Rahim - kasih"

"Orang Islam itu adalah orang yang telah hilang kebenciannya" Ia melanjutkan.

Tuhan adalah kasih begitu yang tertulis di Al Kitab, jika kerajaan Allah ada dalam diri setiap makhluk dan juga lebih dekat dengan urat leher kita maka tidak ada yang lain, kita semua terbuat dari kasih murni dari Nya.
Untuk itu tugas kita bukan mencari kasih lagi melainkan mengurangi kebencian, melepas kemarahan dan mencairkan dendam yang ada.

Seperti yang di katakan Rumi “Your task is not to seek for love, but merely to seek and find all the barriers within yourself that you have built against it.”

Sayangnya dunia kita belum sampai disana, jarang kita temui adanya pendidikan baik secara formal di lembaga pendidikan atau non formal di lingkungan yang mempelajari bagaimana sikap yang tepat dalam menghadapi kemarahan dan kebencian yang membara di dalam.

Dipendam, dilupakan, dialihkan dan di lampiaskan adalah cara yang selama ini paling banyak dipilih.

Tatkala ada yang bersedih kita ingin menghiburnya agar tidak bersedih lagi, kita mengalihkan dengan mengajaknya jalan-jalan, menonton bioskop, kita juga mungkin sering mengatakan pada orang mengatakan "Sudah biarkan saja, nanti Tuhan akan membalas perbuatannya" atau "Jangan takut, labrak saja, kamu kan dipihak yang benar, ngapain takut?"

Terkesan bahwa tindakan kita adalah untuk kepentingan teman yang lagi bersedih tersebut, namun kalau kita mau melihat lebih dalam lagi, kita akan menemukan bahwa apa yang kita lakukan itu adalah untuk menenangkan diri yang tidak nyaman dengan kehadiran teman yang bersedih itu.

Selain itu, kita mengetahui bahwa cara-cara diatas tersebut tidaklah menyelesaikan dengan tuntas emosi yang ada, namun karena tidak tahu bahkan tidak terpikir cara lain maka mau tak mau kita tetap menggunakannya.

Kalau kita punyanya palu saja, maka semua hal kita anggap sebagai paku.

Salah Satu paradox kehidupan adalah apapun emosi yang kita tolak akan kembali ke kita, apa yang ingin kita hancurkan akan semakin padat, sementara untuk mencairkan dan mengalir kita perlu menghadapinya, merawat bahkan memeluknya.

Selama ini banyak yang masih menganut pemikiran "Yang baik diambil yang jelek dibuang".

Dan kita menganggap kemarahan adalah sesuatu yang jelek dan patut di enyahkan.

Dijaman penuh dengan orang sibuk ini, kita perlu untuk berhenti dan melihat kedalam apa penyebab kemarahan kita, di permukaan kita selalu menemukan kambing hitam, bahwa orang lain atau situasilah penyebab kemarahan kita.

"Kalau dia tidak melakukan itu kan saya tidak akan marah" begitulah pembenarannya.

Padahal kita juga tahu bahwa ada orang-orang yang mendapat situasi yang sama namun tidak bereaksi marah.

Jadi kita perlu menyadari bahwa penyebab primer dari kemarahan kita adalah program-program di dalam diri yang terbentuk dari ketidaksadaran.

Kemarahan, kebencian begitu pula dengan kesedihan adalah bagian dari diri ini, ia lahir dari ketidaktahuan, persepsi yg keliru, kurangnya pengertian dan welas asih, untuk itu ia memerlukan perhatian, sentuhan dan pelukan bukan sebaliknya.

Master zen Thich Nhat Hanh menulis dengan apik di bukunya yang berjudul Anger - Memadamkan api kemarahan lewat kearifan Buddhis "Rangkulah kemarahanku dengan penuh kelembutan. Kemarahanmu bukanlah musuhmu, kemarahanmu adalah bayimu. Ia seperti perutmu atau paru-parumu. Setiap kali ada masalah dalam paru-parumu atau perutmu, kamu tidak berpikir untuk membuangnya".

Bagaimana caranya memeluk kemarahan?

Pertama, stop mengarahkan perhatian ke orang lain atau situasi di luar, menengoklah ke dalam dan rasakan bawa ada bagian diri yang sedang marah, sedih atau gelisah.

Lalu, tariklah nafas perlahan dan hembuskan, mungkin Anda bisa menariknya lebih dalam selama beberapa kali diawal untuk membuat diri lebih tenang.

Selanjutnya katakan dalam hati selagi menarik nafas "Nafas masuk, aku tahu bahwa ada kemarahan dalam diriku"

Sewaktu melepas nafas "Nafas keluar, aku sedang menjaga kemarahanku dengan baik"

Untuk ibu yang menghadapi anaknya yang sedang tantrum.

Stop untuk menenangkan teriakan anak dengan mengalihkan, memarahinya atau mengancamnya, mulailah dengan mengamati nafas yang masuk dan keluar.

Ingin membuat anak berhenti menangis dengan segera adalah untuk kepentingan ortu, karena ortu tidak nyaman dengan teriakan anak.

Mulai amati nafas dan katakan "Nafas masuk, aku tahu anakku sedang menangis",
"Nafas keluar, aku akan merawat anakku dengan baik"

Semoga bermanfaat.