Berhenti Maka Kau Sudah Sampai
Beberapa malam lalu, sewaktu melintasi jalan Bypass Ngurah Rai dari Denpasar menuju rumah di Ubud, Rigpa menangis ingin ASI dari Ibunya yang sedang menyetir.
Saya meminta Kartika Damayanti untuk menepi agar kita bisa bertukar posisi.
Sewaktu turun dan hendak berjalan memutari mobil, mata ini dipaksa melihat belasan patung yang tertata sangat indah disebuah taman yang tak kalah cantiknya. "Kalau tidak berhenti mana mungkin kita bisa melihat keindahan ini" meluncur begitu saja kata-kata tersebut sepertinya tanpa filter otak sadar.
Kalimat spontan itu terus mengetuk selaput otak saya, selama perjalanan pulang saya teringat pada apa yang pernah dikatakan Father Tony, panggilan dari Anthony de Mello, "Bayangkan sebuah bis yang melaju di perbukitan yang pemandangannya menakjubkan, namun seluruh kaca yang ada di jendela maupun pintu tertutup oleh kain dengan rapatnya, sementara setiap orang didalam bis tersebut, berebut, berdebat, berlomba dan membandingkan satu dan lainnya. Mereka berebut siapa yang duduk paling depan, siapa yang berbusana terbaik, siapa paling berani dan kegiatan lain yang sejenis." analogi yang sempurna untuk kehidupan modern ini.
Kita semua sedang mengendarai kendaraan yang benama tubuh melewati 'surga' yg dinamai bumi.
Keindahan hidup memang telah tertutupi oleh kain yang bercoretkan tujuan atau impian-impian, manusia telah menjadi makhluk yang terberkahi karena mempunyai otak yang terbaik dalam memikirkan masa depan dan target-targetnya yang sekaligus menjadi makhluk yang paling terburu-buru alias paling jarang hadir disaat ini.
Kita menjadi jawara dalam bidang kecemasan, dan karena pengalaman, manusia menjadi pakar dalam menciptakan kekuatiran pada dirinya sendiri, bahkan manusia telah membudayakan serta sepertinya telah mematenkan ketakutan.
Dunia yang dulu disebut sebagai panggung sandiwara telah disulap menjadi ring pertandingan atau arena balapan.
Kita berlari, berkejaran, semakin cepat.
Inilah jaman dimana tubuh berada di rumah sementara pikiran dikantor, dan sewaktu dikantor benak mengembara dengan planning liburan long weekend.
Orangtua merasa bosan menunggui anaknya yang terkagum melihat bunga yg mekar, jam dinding atau apapun yg dianggap tidak penting.
Anak didorong untuk makan dengan cepat agar besarnya kerjanya pun cepat.
Sekarang bukan saja kita tidak mengunyah 32 kali tapi juga tidak melihat makanan lagi, kita menatap koran atau layar sewaktu mengisi energi penting untuk kendaraan raga ini.
Serasa tidak puas dengan waktu sekolah yang lebih banyak daripada jam kerja orang dewasa, para murid selain masih diberi tugas juga diberi tambahan pelajaran dan kegiatan diluar sekolah.
Saat ini para professional, pekerja dan bahkan pengusaha menjejali hari dengan begitu banyak kegiatan lalu menyelipkan program liburan yang tidak kalah padat jadwalnya dengan kegiatan sehari-hari.
"Tidak melakukan apa-apa" diusia belasan tahun saya anggap sebagai ketololan. Dan Mereka yang tidak sibuk berarti tidak memanfaatkan apa yang diberikan pencipta, pikir saya waktu itu.
Jangankan berhenti, tidak menambah kecepatan artinya siap-siap tergilas.
Seorang penulis jernih Chin-Ning Chu yang terkenal lewat bukunya Thick Face Black Heart mengatakan bahwa, “Kata Cina bagi ‘sibuk’ terdiri dari dua bagian. Satu bagian melambangkan hati manusia dan bagian lainnya melambangkan kematian. Dari dua lambang di atas, arti yang dapat dikembangkan adalah bila seseorang super sibuk, hatinya mati.”
Seorang pengusaha sukses yang terjerat kesibukan menolak mentah-mentah ketika saya menyarankan untuk menikmati hidup dengan mencicipi retreat meditasi.
"Kalau saya tidak nongol 10 hari jadi apa nanti kantor saya, apalagi hp dan internet tidak boleh nyala?" katanya.
Berapa hari selepas saya bermeditasi dia menghubungi saya sambil melaporkan bahwa dirinya baru saja keluar dari perawatan intensif di Mount E selama 1 minggu.
"Akibat ketegangan syaraf dokter meminta saya beristirahat total dan tidak boleh berhubungan dengan pekerjaan"
Mungkin organisasi spiritual harus memindahkan pusat meditasi dari tempat yang sunyi ketengah UGD dan ICU, karena banyaknya orang yg "rela" melepaskan kesibukannya ketika berhubungan dengan rumah sakit :))
Sampai saat inipun saya masih merasa kesulitan untuk menjelaskan "the art of doing nothing" pada siapapun yang selalu melakukan sesuatu sepanjang hidupnya.
Tidak ada cara lain diluar praktik yang mendalam untuk dapat menyerap pemahaman yang telah diutarakan para bijak di segala jaman.
Sudah terlalu banyak waktu yang kita isi dengan tujuan mengumpulkan sesuatu yang pasti kita tinggal dan hampir tidak ada langkah yang kita tempuh untuk mengkoleksi sesuatu yang kita akan bawa.
"Berhentilah, maka Anda sudah sampai" adalah paradox sempurna dengan ilmu yang telah ditanam berbelas tahun di memori kita semua.
Berhentilah dan rasakan sesuatu yang bergolak didalam. Karena hanya dengan berhenti baru kita bisa menggali, dan hanya dengan menggali baru kita bisa menemukan harta tak ternilai yang diletakkan oleh Yang Agung didalam.
Selamat menggali dan silakan berbagi