Berbagi bukan Berbahagia
Beberapa hari lalu menjelang dini hari, di ubud, sambil meletakan kepalanya di dada yang beberdetak lembut dan tangannya setengah memeluk tubuh yang langsing ini, Kartika menceritakan kegalauan.
Ia merasa gelisah juga sedih pada harapan-harapan yang ia buat sendiri selama berbagi teknik Yoga pada para peserta yang hadir.
Sejak menyelesaikan program teacher training bulan lalu, tak henti-henti tawaran datang, seolah semesta sedang memaksanya untuk segera berbagi pada yang lain sekaligus berlatih untuk meningkatkan kemampuannya.
Menemaninya selama lebih dari 10 tahun, membuat saya tahu secara pasti karakternya, bila ia sedang belajar atau bekerja maka ia akan menumpahkan 100 % dari kemampuan badan dan jiwanya pada apa yang dipelajari.
Mungkin ini juga yang menyebabkan Ia mempunyai keinginan dan harapan yang besar agar orang lain melakukan hal yang sama.
Setelah ia bercerita dan terlelap dengan nyenyaknya, pikiran saya bergeser ke hampir 10 tahun yang lalu, dimana saya memutuskan untuk melepaskan dari 100% pekerjaan sosial menjadi 80%, 20% nya menjadi professional dalam berbagi ilmu.
Saat itu ada keinginan besar untuk mengubah orang lain menjadi lebih baik, saat itu saya merasa memiliki ilmu yang luar biasa untuk dibagi dan merasa yakin bila seseorang menerapkan maka ia akan menjadi lebih baik hidupnya.
Niat baik saja tidaklah cukup.
Kekecewaan lebih sering bertandang daripada kepuasan.
Disana saya belajar bahwa keinginan apapun yang tumbuh atau ingin di tumbuhkan tidak boleh sendirian, setiap keinginan haruslah dibarengin oleh keikhlasan.
Kemampuan dalam mencengkram perlu diimbangi dengan kemampuan untuk melepas.
Awalnya saya berpikir bahwa yang perlu dilepas adalah hasilnya, yang penting saya telah berbuat semaksimum mungkin dan saya serahkan hasilnya pada semesta ini.
Apakah orang tersebut berubah atau tidak, itu bukan urusan saya.
Lama saya melakukan hal diatas ini, kemana-mana saya selalu mendorong setiap orang untuk berbagi bila ingin berbahagia.
Namun entah apa yang memaksa saya untuk menguliti keyakinan yang saya anggap benar ini.
Saya merenung lama, dan dalam keberanian yang tersisa, saya bertanya "Dari manakah rasa 'Bahagia' yang hadir ketika saya berbagi?", lebih dalam lagi saya bertanya "Apakah yang saya rasakan ini kebahagiaan atau kesenangan?"
Sekarang dengan lantang saya berani berkata, bahwa apa yang saya kira kebahagiaan adalah kesenangan, saya merasa senang tatkala berbagi karena saya merasa lebih superior dari yang lain, yang duduk, yang mendengar.
Inilah jebakan ego yang sungguh halus.
Ego yang lembut inilah yang perlu disadari sebelum melepas hasil pada apa yang kita hendak lakukan.
Disaat kita mendapat gelar, status, julukan atau kesempatan berdiri diatas podium acapkali ego yang tersamar menyelinap disana.
Untuk mengetahuinya diperlukan kejujuran tingkat dewa, kita perlu memeriksa pada bathin kira sendiri,
Apakah kita lebih ingin didengar atau sejak menjadi guru kita malah ingin mendengar lebih banyak?
Apakah kita menjadi lebih welas asih atau tambahan gelar ini membuat kita malah ingin dihormati?.
Dan apa yang saya rasakan ketika turun dari panggung dan menemui seseorang memuji atau memaki saya?
Seperti kita semua tahu, Gunung yang tinggi selalu mempunyai jurang yang dalam, begitulah hukumnya.
Tatkala kita terbang saat pujian datang, maka kita pun akan terjerembab ketika hinaan hadir.
Mereka yang bebas adalah mereka yang telah berserah sepenuhnya, mereka tidak terikat pada proses maupun hasil, mereka bekerja, mereka melakukan sesuatu dengan sungguh-sungguh namun tidak ada 'aku' disana.
Mereka menyadari Semuanya adalah gerak semesta yang datang dan pergi, semua dipandangnya sebagai karunia atau berkah saat ini.
Ada yang merasa puas, itu adalah berkah saat ini, ada yang merasa tidak puas, juga adalah berkah saat ini.
Kanan seindah kiri, atas seelok bawah, hitam dan putih saling berpelukan.
Yang positif tidak digenggam, yang negatif tidak ditendang.
Semuanya adalah tarianNya