"Kita harus beli makanan atau apa yang lain untuk dibawa besok malam ke rumahnya"

"Kenapa harus?" Tanya saya

"Ya ngga enak lah, kita baru kenal terus masa diundang makan malam dan tidak bawa apa-apa"

Itulah perbincangan saya dan kakak ipar sesaat setelah kami menerima undangan makan malam dari Siva Raja pemilik Amstridam Coffee di Batu Malang.

Diskusi selanjutnya menjadi sangat panjang, untuk mempersingkat, kurang lebih begini intinya menurut pandangan saya.

Bila kita ingin memberi atau menerima itu selayaknya muncul karena kita memang ingin memberi, bukan berdasar dari rasa tidak enak atau program-Program lain yang tertanam sebelumnya.

Sedari kecil hampir dari kita semua terbentuk oleh lingkungan, kita melihat perilaku ortu dan orang lain, kita menyadap prinsip-prinsip yang dimiliki dan tak sadar menirunya.

Kita menggenggam nilai-nilai ortu dan keluarga menjadi kewajiban yang harus dijalani.

"Malu kalau tangan dibawah, tanganmu harus diatas Nak"

"Kalau dikasih orang, kita harus membalasnya"

"Kita harus bantu orang, nanti kalau kita kesusahan pasti akan ada yang bantu"

Adalah tiga dari ribuan program yang tertanam yang seringkali tanpa sadar berjalan dalam diri banyak orang.

Karena kita meyakininya dan melihat semua orang melakukannya, kita menganggapnya itu adalah hal yang memang seharusnya dan begitulah dunia ini.

Berpuluh tahun saya menjalani hidup dan meyakini hal tersebut, sampai suatu saat menyadari bahwa saya bukanlah program, saya bukanlah robot, saya memiliki kesadaran dalam memilih dan memutuskan sesuatu tanpa dorongan rasa enak dan tidak enak.

Walau masih sering tersangkut dan dihempaskan rasa nyaman dan tidak nyaman, saya terus mengingatkan diri untuk berlatih hidup sadar.

Tatkala ingin memberi atau membalas, itu karena saya ingin memberi bukan ingin mendapat balasan, atau seperti dahulu dimana saya meminjamkan uang pada sahabat yang datang dengan menangis karena saya menghindari rasa bersalah dan ketakutan di cap pelit/jahat.

Mereka yang disebut bebas adalah mereka yang berjalan dengan kesadarannya dan tak meributkan apa yang dipikir orang, hari ini kita sering bertindak seperti dewa atau dewi yang mampu membaca pikiran orang lain.

Selalu ingat bahwa hidup akan terisi penderitaan bila selalu dibanjiri dengan asumsi.

Melatih kesadaran adalah mengenali diri sendiri, mengenali program yang ada, berusaha menambahkan aksi serta mengurangi re-aksi.

Dikala kita mampu memberi karena ingin memberi, kita terlepas dari kekecewaan, karena kita tidak ada harapan untuk mendapat balasan, begitu pula sewaktu menerima kita juga tidak terbebani karena tak ada kewajiban untuk membalas.