Tetangga cantik itu lewat dan aku pun menghentikan gerakan yoga ku.

Saya tidak menoleh apalagi menyapanya, tubuh saya diam di buntal rasa malu.

Lalu saya memutuskan menutup mata dan menyelam menemui rasa malu yang saya yakin sudah lama beranak-pinak di dalam pikiran ini.

Wanita Rumania itu adalah pelatih Yoga dan saat dia lewat, saya sedang diminta melalukan gerakan yang sederhana oleh aplikasi yang memandu saya, namun saya tidak mampu.

Itu adalah alasan logisnya mengapa saya malu, namun alasan ini sama sekali tidak penting karena penuh dengan asumsi, rekayasa pembenaran dan bekerja di level re-aksi.

Program apa yg ada dipikiran yang membuat saya berpikir dan merasa seperti itu?, di aspek kehidupan mana saja program ia berada?, bagaimana cara menetralkannya? Adalah pertanyaan utama yang perlu dijawab bukan hanya dengan kata melainkan kesadaran.

Saya teringat masa kecil dan remaja saya yang dikuasai oleh rasa tidak percaya diri, minder, dan banyak ketakutan.

Dengan kata lain saya terkondisikan dengan program- progam yang membuat saya malu yang hampir sama seperti program lapar ketika jam 12 datang, atau sakit ketika tersiram air hujan.

Lebih jauh lagi dalam renungan itu saya mendengar kata-kata,
"Jangan begitu, nanti apa kata orang", "Ayo mandi, nanti orang-orang mikir kamu jorok" "Kalau mau masuk rumah orang, permisi dulu, nanti orangnya marah lho" di dalam diri saya sewaktu menutup mata tadi.

Kalimat yang lumrah didengar anak-anak kecil di Indonesia bukan?

Budaya malu atas penilaian luar kIta bangun sementara kesadaran dari dalam tak tersentuh.

"Apa kata orang" menjadi juklak etika kehidupan sehari-hari.

Kita sibuk berdandan dan mendandanI anak untuk mendapatkan citra positif semu dari orang lain.

Dengan dasar asumsi bahwa orang lain terganggu, ortu memaksa bahkan memukul anaknya yang menangis untuk segera diam.

Kita membutakan serta membungkam mata dan suara hati anak yang jujur dan ekspresif agar kita sebagai ortu mendapat cap ortu hebat.

Unggah-ungguh, etika, kesopanan selayaknya muncul dari kesadaran bahwa kita semua adalah makhluk yang mulia.

Kalau setiap manusia setara mata Tuhan, mengapa kita membedakan suguhan untuk orang kaya dan miskin ketika bertamu ke rumah?

Apakah anak-anak kita tidak melihat dan terprogram oleh semua yang dilihatnya?

Anak-anak itu bukan hanya akan mencontoh perilaku diskriminasi tersebut, melainkan juga akan mengejar materi, karena melihat orang kaya lebih mendapat perhatian dan penerimaan.

Lama saya merenung setelah yoga usai, dibalik keberanian saya memilih pekerjaan dan tempat tinggal sesuai hati, berjalan tanpa alas kaki kemanapun, atau berbicara di ribuan orang ada banyak sisi berkebalikan yang eksis.

Dengan berbagai teknik yang telah saya pelajari, tentu saya bisa mengusahakan karakter atau sifat yang selama ini di stempel jelek untuk mengungsi jauh, namun kesadaran saat ini menuntun saya untuk memeluknya keduanya, yaitu sisi negatif dan positif.

Seperti gunung yang tinggi pasti mempunyai lembah yang dalam, begitu juga Manusia, tidak mungkin memiliki sifat berani tanpa memiliki sifat penakut di sisi lain hidupnya.

Ketika rasa malu itu datang, akupun menyadari nafasku yang masuk sambil kukatakan "Aku menarik nafas bersama rasa malu"

Dan ketika nafas tertembus "Aku melepas nafas sambil merawat rasa malu"